Konon kabarnya, nenek moyang bangsa Indonesia sebelum datangnya Islam ke nusantara adalah kaum paganisme dan animisme. Mereka mempercayai adanya kekuatan gaib pada sebagian makhluk dan benda-benda. Kepercayaan ini sudah berakar kuat pada mayoritas manusia pada zaman itu. Saking kuatnya keyakinan ini, tak heran jika kepercayaan seperti ini masih tersisa dan memiliki pengaruh pada sebagian besar masyarakat muslim di era moderen ini.
Adanya keyakinan kepada benda-benda masih terlihat di masyarakat, akibat pengaruh paganisme dan animisme. Lihatlah, sebagian masyarakat kita masih mempertahankan ajaran kejawen yang berisi keyakinan-keyakinan batil, walaupun ia telah masuk Islam. Di Sulsel sendiri masih ada sekelompok manusia yang masih mempertahankan keyakinan mereka yang sarat dengan keyakinan paganisme dan animisme; mereka istilahkan dengan “attau riolongeng” (adat istiadat nenek moyang), seperti memperingati dan merayakan hari kematian (haulan) seseorang, mempercayai kekuatan benda-benda, meyakini hari-hari tertentu sebagai hari bahagia atau hari celaka, mempersembahkan sesuatu kepada penjaga (bau rekso) yang ada di suatu tempat menurut keyakinan batil mereka.
Banyak macam dan ragam dari ajaran-ajaran batil menyusup ke dalam agama Allah disebabkan sebagian orang yang mengaku muslim tak mau melepas ajaran nenek moyangnya yang batil lagi menyimpang. Lantaran itu, timbullah keyakinan bahwa jimat mempunyai pengaruh bagi kebahagian dan kecelakaan bagi seseorang.
Fenomena yang terjadi di zaman sekarang hanyalah sejarah yang berulang dari zaman ke zaman. Hanya terkadang bentuk dan istilahnya yang beragam. Di zaman Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– sendiri pernah terjadi hal dan keyakinan seperti ini pada sebagian sahabat yang masuk Islam. Namun Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam– tak mendiamkan hal itu, beliau langsung menegur dan meluruskannya.
Sahabat Abu Basyir Al-Anshoriy –radhiyallahu anhu– berkata bahwa,
أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ, فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَسُولاً: أَنْ لَا يَبْقَيَنَّ فِي رَقَبَةِ بَعِيرٍ قِلَادَةٌ مِنْ وَتَرٍ أَوْ قِلَادَةٌ إِلَّا قُطِعَتْ
“Dia pernah bersama Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pada sebagian safar beliau. Kemudian Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- mengutus seorang utusan untuk menyampaikan pesan, “Jangan lagi tersisa kalung yang terbuat dari tali busur ataukah kalung apa saja pada leher onta, kecuali diputuskan”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (3005), dan Muslim dalam Shohih-nya (2115)]
Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– melarang para sahabat untuk mengikuti kebiasaan orang-orang jahiliyah, yaitu kebiasaan menggantungkan tali pada pada hewan-hewan tunggangan sebagai jimat yang bisa menolak bala’ dan penyakit menurut keyakinan mereka yang batil. Sebab mereka (orang-orang jahiliyah) meyakini bahwa jika ia menggantungkan seutas tali busur pada leher hewan, maka ia akan terhindar dari penyakit. Ini adalah keyakinan jahiliyah!!
Abul Qosim Al-Azhariy –rahimahullah– berkata, “Konon kabarnya, orang-orang jahiliyah dahulu mengalungkan tali busur pada hewan (sebagai jimat) untuk mencegah ain (sejenis penyakit yang timbul karena pengaruh mata). Akhirnya merekapun dilarang. Adapun mengalungkan tali pada leher binatang untuk keindahan (hiasan), maka hal itu tak mengapa”. [Lihat Al-Muntaqo Syarh Al-Muwaththo’ (4/351), karya Abul Walid Al-Bajiy]
Keyakinan jahiliyah seperti ini telah dihapuskan oleh Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam-. Oleh karena itu, Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– melarang dan mengingatkan akan dosa dan bahaya menggantung jimat pada badan, rumah, mobil, dan lainnya. Menggantungkan dan memakai jimat termasuk kesyirikan yang bertentangan dengan inti ajaran Islam, yakni tauhid. Sebab seorang yang memakai jimat pasti meyakini bahwa jimat itulah yang menyebabkan ia terhindar dari penyakit dan bala’. Jadi, menurut keyakinan ini bahwa ada makhluk yang mampu menjaga dan melindungi seseorang dari penyakit di samping Allah -Ta’ala-. Jelas ini adalah syirik.
Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam– bersabda,
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ [ أخرجه أبو داود ( 3883 ) و ابن ماجه ( 3530 ) و ابن حبان ( 1412 ) و أحمد ( 1 / 381 ),وصححه الألباني في الصحيحة (رقم:331 و2972)]
“Sesungguhnya mantra-mantra, jimat, dan guna-guna (pelet) adalah kesyirikan”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (1/381), Abu Dawud dalam Sunan-nya (3883), Ibnu Majah dalam Sunan-nya (3530), dan Ibnu Hibban dalam Shohih-nya (1412), dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (4/217 & 418). Syaikh Al-Albaniy men-shohih-kan hadits ini dalam Ash-Shohihah (331 & 2972)]
Jampi-jampi (ruqyah) jika berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah, maka itu adalah perkara yang boleh dan disyari’atkan dalam Islam. Adapun apabila ruqyah (jampi) yang biasa kita sebut dengan “mantra-mantra” yang berisi doa kepada selain Allah, maka ini adalah ruqyah yang terlarang. Demikian pula, bila ruqyah-nya berasal dari kata-kata yang tidak bisa dipahami maknanya, maka ini juga terlarang, sebab dikhawatirkan di dalamnya terdapat kata-kata kafir atau syirik. [Lihat At-Tamhid (hal. 108) oleh Syaikh Sholih At-Tamimiy, 1423 H]
Adapun masalah jimat dan guna-guna, maka permasalahannya jelas; keduanya terlarang dalam agama kita, sebab dalam pemakaian jimat terdapat ketergantungan dan keyakinan kepada selain Allah. Sedang ini adalah syirik (menduakan Allah). Sementara guna-guna adalah sihir yang digunakan untuk merukunkan seseorang dengan pasangannya atau sebaliknya. Sihir sendiri telah jelas haram dalam Islam secara mutlak. Anda jangan tertipu dengan sebagian orang yang menyatakan ini sihir hitam, dan itu sihir putih. Ketahuilah ini adalah tipuan setan, sebab semua sihir, apapun namanya tetaplah hitam. Mengapa demikian? Sebab semua sihir adalah perkara yang diharamkan dalam agama Allah. Al-Imam Syamsul Haqq Al-Azhim Abadiy –rahimahullah– berkata dalam menjelaskan sebabnya Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– melarang untuk menggunakan jimat, “Demikian itu karena mereka (orang-orang jahiliyah) dahulu mengikatkan tali dan kalung-kalung tersebut sebagai jimat. Mereka menggantungkan pada tali itu mantra-mantra (rajah-rajah), sedang mereka menyangka bahwa jimat-jimat itu bisa melindungi mereka dari berbagai macam penyakit. Karenanya, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- melarang mereka dari menggunakan jimat-jimat, dan memberitahukan mereka bahwa jimat-jimat itu tidak bisa menolak keputusan (taqdir) Allah sedikitpun”. [Lihat Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud (5/151)]
Seorang yang menggunakan jimat termasuk orang yang berbuat syirik. Oleh karena itu, Allah tidak akan memberikannya pertolongan dan kesembuhan. Allah akan membiarkannya dan meninggalkannya, tanpa penolong. Isa bin Abdir Rahman Al-Anshoriy berkata, “Aku pernah masuk menemui Abdullah bin Ukaim Abu Ma’bad Al-Juhaniy untuk menjenguk beliau, sedang pada beliau terdapat penyakit pembengkakan (sejenis tho’un). Kami katakan, “Kenapa anda tidak menggantung sesuatu (yakni, jimat)?”. Beliau menjawab, “Kematian lebih dekat dari hal itu. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda,
مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ [ أخرجه أحمد في مسنده (4/310 & 311) الترمذي في سننه (2073), والحاكم في المستدرك على الصحيحين (4/216), وحسنه الألباني في غاية المرام (297)]
“Barangsiapa menggantungkan sesuatu (yakni, jimat), maka ia akan dibiarkan kepada sesuatu itu”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (4/310 & 311), At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (2073),dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrok ala Ash-Shohihain (4/216). Syaikh Al-Albaniy meng-hasan-kan hadits ini dalam Ghoyah Al-Marom (297)]
Ibnul Atsir Al-Jazariy –rahimahullah– berkata dalam menjelaskan makna hadits di atas, “Maksudnya, barangsiapa yang menggantungkan sesuatu pada dirinya berupa rajah-rajah, jimat-jimat, dan sejenisnya, sedang ia meyakini bahwa hal-hal itu bisa mendatangkan manfaat baginya atau menolak gangguan (bala’) darinya”. [Lihat An-Nihayah fi Ghoribil Hadits (3/556)]
Menggunakan jimat, baik pada badan, rumah, maupun yang lainnya termasuk dosa besar di sisi Allah dan Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam-. Tak heran bila Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam– pernah berlepas diri dari orang yang menggunakan jimat. Ruwaifi’ bin Tsabit –radhiyallahu anhu– berkata,
عن رويفع قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رُوَيْفِعُ لَعَلَّ الْحَيَاةَ سَتَطُولُ بِكَ بَعْدِي فَأَخْبِرْ النَّاسَ أَنَّهُ مَنْ عَقَدَ لِحْيَتَهُ أَوْ تَقَلَّدَ وَتَرًا أَوْ اسْتَنْجَى بِرَجِيعِ دَابَّةٍ أَوْ عَظْمٍ فَإِنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُ بَرِيءٌ [أخرجه أحمد في مسنده (4/108-109)أبو داود في سننه – (36), والنسائي في سننه (4981), وصححه الألباني في صحيح الجامع الصغير (رقم: 7910)]
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- telah bersabda kepadaku, “Wahai Ruwaifi’, barangkali umurmu akan panjang setelahku. Karenanya, kabarilah manusia bahwa barangsiapa yang memilin jenggotnya atau mengalungkan tali (yakni, jimat) atau ia cebok dengan menggunakan kotoran hewan atau tulang, maka sesungguhnya Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam- berlepas diri darinya”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (4/108 & 109), Abu Dawud dalam As-Sunan (36), dan An-Nasa’iy dalam As-Sunan (4981). Di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih Al-Jami’ Ash-Shoghier (7910)]
Berlepas dirinya Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– dari orang yang menggantungkan dan menggunakan jimat menunjukkan besarnya permasalahan jimat. Lantaran itu, sebagian ulama menjelaskan bahwa seorang terkadang yang memakai jimat keluar dari Islam, bila ia meyakini bahwa jimat itu yang menolak bala’ atau mendatangkan manfaat. Adapun bila ia memakai jimat, dan menyangka bahwa jimat itu adalah sebab Allah menolak bala’ darinya, maka ini juga syirik. Hanya saja tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam. Pengingkaran Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– atas orang-orang yang memakai jimat adalah perkara masyhur di kalangan salaf. Seorang Pembesar Ulama Tabi’in, Abu Sulaiman Zaid bin Wahb Al-Juhaniy Al-Kufiy –rahimahullah– berkata,
اِنْطَلَقَ حُذَيْفَةُ إِلَى رَجُلٍ مِنَ النَّخَعِ يَعُوْدُهُ ، فَانْطَلَقَ وَانْطَلَقْتُ مَعَهُ ، فَدَخَلَ عَلَيْهِ وَدَخَلْتُ مَعَهُ ، فَلَمِسَ عَضُدَهُ فَرَأَى فِيْهِ خَيْطًا فَأَخَذَهُ فَقَطَعَهُ ، ثُمَّ قَالَ : لَوْ مُتَّ وَهَذَا فِيْ عَضُدِكَ مَا صَلَّيْتُ عَلَيْكَ [أخرجه ابن أبي شيبة في مصنفه (ج 5 / ص 427) بسند صحيح ]
“Hudzaifah pernah pergi kepada seseorang dari Nakho’ untuk menjenguknya. Beliau pergi, dan akupun pergi bersamanya. Kemudian beliau masuk menemui orang itu, dan akupun masuk bersamanya. Beliau pun menyentuh lengan orang itu. Tiba-tiba beliau melihat padanya seutas benang. Akhirnya beliau mengambil dan memutuskannya seraya berkata, “Andaikan engkau mati, sedang benang ini ada pada lenganmu, maka aku tidak akan menyolatimu”. [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (5/427), dengan sanad yang shohih]
Ibrahim bin Yazid An-Nakho’iy –rahimahullah– berkata,
كَانُوْا يَكْرَهُوْنَ التَّمَائِمَ كُلَّهَا ، مِنَ الْقُرْآنِ وَغَيْرِ الْقُرْآنِ. [أخرجه ابن أبي شيبة في مصنفه (ج 5 / ص 428), و القاسم بن سلام في فضائل القرآن (ج 2 / ص 272/رقم 704), وصححه الألباني في تحقيق الكلم (ص 45)]
“Dahulu mereka –yakni, para sahabat- membenci semua jimat-jimat, baik yang terbuat dari AL-Qur’an, maupun selainnya”. [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (5/428), dan Abu Ubaid Al-Qosim Ibnu Sallam dalam Fadho’il Al-Qur’an (2/272/no. 704). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Tahqiq Al-Kalim (hal. 45)]
Demikian pengingkaran para sahabat yang mulia, diantaranya Hudzaifah Ibnul Yaman -radhiyallahu anhu-. Pengingkaran ini bukan hanya berasal dari Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– dan para sahabat, bahkan generasi setelahnya terus melakukan pengingkaran atas para pemakai jimat. Muhammad bin Suqoh Al-Ghonawiy –rahimahullah– berkata,
أَنَّ سَعِيْدَ بْنَ جُبَيْرٍ رَأَى إِنْسَانًا يَطُوْفُ بِالْبَيْتِ فِيْ عُنُقِهِ خَرَزَةٌ فَقَطَعَهَا [أخرجه ابن أبي شيبة في مصنفه (ج 5 / ص 428) بسندٍ صحيحٍ]
“Sa’id bin Jubair (seorang tabi’in) pernah melihat seseorang yang melakukan thawaf di Baitullah, sedang di lehernya terdapat permata (yakni, jimat). Akhirnya beliau memutuskannya”. [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (5/428) dengan sanad shohih] Jimat walapun terbuat dari Al-Qur’an, maka ia juga terlarang, karena tak ada contohnya dari Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam-, dalil umum menunjukkan pelarangan semua jenis jimat, dan boleh jadi seorang akan membawanya ke toilet, padahal di dalamnya terdapat ayat atau dzikrullah. Selain itu, Al-Qur’an bukanlah sesuatu yang digantung, tapi ia adalah bacaan.
Al-Qodhi Abu Bakr Ibnul Arobiy –rahimahullah– berkata dalam Aridhoh Al-Ahwadziy, “Menggantungkan Al-Qur’an (sebagai jimat) bukanlah jalan sunnah (petunjuk). Hanyalah sunnah itu pada Al-Qur’an adalah dzikir (membacanya), tanpa menggantungnya”. [Lihat Hasyiyah An-Nasa’iy (5/421) oleh As-Sindiy]
Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 122 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)